문화칼럼

  • Home
  • 인도네시아 알기
  • 문화칼럼
제목 Pak Koh, Pram-mania dari Korea Selatan
작성자 최고관리자
작성일 07-12-30 15:20
Pak Koh, Pram-mania dari Korea Selatan
 
"ANDA mencari Pak Koh? Mari saya antar," seorang mahasiswa menawarkan diri untuk mengantar Kompas menemui Prof Dr Koh Young-hun. Di sebuah ruangan berukuran 2,5 x 5 meter di Kampus Hankuk University of Foreign Studies, Koh menyambut kedatangan Kompas.
 
PAK Koh-demikian ia disapa oleh mahasiswanya-adalah Ketua Jurusan Kajian Melayu- Indonesia (Department of Malay-Indonesian Studies) Hankuk University of Foreign Studies (HUFS). Maka, bukan sesuatu yang mengejutkan jika mendengar kefasihannya berbahasa Indonesia.
 
Dari ruang kerjanya di kawasan Imun, Kota Seoul, Korea Selatan, Koh tidak hanya memimpin Kajian Melayu-Indonesia. Dari sana Koh juga mengelola Pusat Kebudayaan Indonesia yang ia rintis bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) sejak tahun 2001.
 
Terdorong untuk memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Korea Selatan, Koh membiayai sendiri berbagai kegiatan dan menyewa sebuah tempat di dekat kantor KBRI. Berjalan setahun, tetapi tetap tidak ada dukungan berarti dari pihak Indonesia. Akhirnya ia memutuskan menarik kantor Pusat Kebudayaan Indonesia itu ke ruang kerjanya yang kecil dan disesaki buku-buku, yang sebagian besar berbahasa Indonesia dan Melayu.
 
Pusat Kebudayaan Indonesia menjadi ajang pengenalan budaya Indonesia kepada masyarakat Korea Selatan dan diarahkan untuk membantu para tenaga kerja Indonesia jika menghadapi masalah di tempat kerjanya.
Januari lalu Pusat Kebudayaan Indonesia menggelar konser grup musik Dewa di Suwon, Provinsi Gyeonggi, untuk menghibur ribuan TKI yang bekerja di Korea Selatan. Koh mendapat sponsor dari beberapa perusahaan Korea Selatan yang menanamkan modal di Indonesia, tetapi ternyata itu tidak cukup.
 
"Saya merugi sekitar 40.000 dollar AS. Untung tidak sampai menjual rumah," ungkap ayah dari Koh Byoung-seo (15) dan Koh Soo-min (13). Kedua anaknya itu adalah "representasi" Melayu-Indonesia-yang pertama lahir di Jakarta dan yang kedua lahir di Kuala Lumpur.
 
Meski berjalan sendiri dan harus merugi, Koh tidak jera. Ia bertekad tetap mempromosikan kebudayaan Indonesia dan mengabdikan hidupnya untuk Indonesia. Alasannya bersahaja, tetapi menyentuh. Katanya, "Sejak kuliah sampai sekarang saya berkecimpung dalam hal- hal yang berkaitan dengan Indonesia. Saya bisa menjadi seperti ini karena Indonesia."
 
KOH yang lahir di Jeonju-ibu kota Provinsi Jeollabuk, 27 September 1957, menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya di Jurusan Kajian Melayu-Indonesia HUFS pada tahun 1981. Dari situlah ia mulai berkenalan dengan karya kesusastraan Indonesia, terutama karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
 
Sebelum mengikuti wajib militer pada tahun 1983, Koh telah meraih gelar magister kesusastraan dari almamaternya, HUFS. Ia mengkaji novel Perburuan karangan Pramoedya.
"Ketika kuliah saya membaca sejumlah novel karya sastrawan Indonesia. Saya menyimpulkan bahwa novel-novel Pak Pram adalah karya kesusastraan Indonesia yang unggul dan berwibawa," tuturnya.
 
Sejak itu ia terus mengkaji karya-karya Pramoedya, utamanya tetralogi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Tetralogi ini, menurut Koh, adalah karya novel sejarah Indonesia yang membawa wawasan baru.
Mengkaji karya-karya tersebut bagi Koh sama dengan membicarakan dan menganalisis dunia dan alam pemikiran Pramoedya.
 
"Seorang novelis tidak hanya menyajikan kehidupan, melainkan juga intuisi dan tafsiran tentang kehidupan," jelas Koh, yang menulis novel Kampus-ei Star-del (Bintang-bintang di Kampus). Sejak diterbitkan tahun 1983 novel yang mengisahkan seorang pemuda yang lari dari wajib militer itu telah tujuh kali dicetak ulang.
Tahun 1986 Koh sempat mengajar setahun di HUFS sebelum menempuh S2 di Malaysia dalam bidang teater Malaysia modern.
 
Semangatnya yang semakin meluap- luap untuk mengkaji karya Pramoedya membawanya ke Indonesia pada tahun 1988. Akan tetapi, keinginannya menempuh S3 di Indonesia kandas. Ketika itu, tidak seorang pun yang berani menjadi pembimbingnya di tengah gencarnya pelarangan karya-karya Pramoedya di bawah rezim Soeharto.
 
Selama dua tahun di Jakarta, Koh mengumpulkan bahan-bahan kajian tentang Pramoedya, sambil mengajar pada Pusat Studi Korea di Universitas Nasional. "Pengumpulan bahan untuk S3 saya banyak dibantu oleh Pak HB Jassin dan Pak Pram sendiri. Mereka adalah dokumentator yang luar biasa," ujarnya.
 
Ia berhasil meraih gelar doktor di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 1993. Disertasinya kemudian dibukukan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dengan judul Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-novel Mutakhirnya (1996). Ia sedang menjajaki kemungkinan buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Indonesia. "Buku saya itu ada juga di rak buku Pak Pram," kata Koh bangga.
 
WAJAH cerah Koh tiba-tiba meredup begitu ia mulai bercerita tentang perjalanan hidup Pramoedya pada masa Orde Baru yang penuh tekanan. Ia mengungkapkan, betapa Pemerintah Indonesia pada masa itu menempuh berbagai cara untuk menekan Pramoedya, mulai dari pelarangan karya-karyanya sampai upaya diplomatik yang dilancarkan agar Pramoedya tidak memenangi hadiah Nobel.
 
Beberapa kali Pramoedya masuk nominasi penerima hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan, tetapi tidak pernah berhasil. Menurut Koh, "Itu berkat intervensi Pemerintah Indonesia melalui diplomatnya di luar negeri."
 
Selembar copy surat yang dikirim seorang sastrawan Indonesia kepada HB Jassin pada tanggal 5 Januari 1990 menjadi pegangan Koh. Dalam surat tersebut, menurut Koh, sastrawan itu menceritakan pertemuannya dengan seorang diplomat yang secara tidak sengaja mengungkapkan bahwa Pramoedya tidak bisa mendapat hadiah Nobel adalah karena keberhasilan diplomasi Indonesia.
 
"Saya menceritakan apa yang saya ketahui ini berdasarkan hasil analisis dan penelitian saya sebagai seorang sarjana. Bukan sekadar sebagai seorang yang pro Pak Pram," tambahnya.
 
Pada ujung percakapan dengan Kompas, Koh menuliskan tiga alamat surat elektroniknya. Salah satunya, $. Ia pun kembali tersenyum. (Nasru Alam Aziz)

바로가기